NEGARA TANPA RENCANA

Industri padat karya terutama garment kolaps. Sritex sebuah raksasa garment dinyatakan pailit, harus menyelesaikan kewajiban-kewajibannya dengan melego aset-asetnya. Sebelum itu Pan Brothers, raksasa textile juga akhir tahun 2024 lolos dari pailit. Sementara Apac Inti, terus mengurangi tenaga kerjanya. Sementara pabrik-pabrik kecil menengah lainnya sudah semenjak 10 tahun mengalami kebangkrutan. Deindustrialisasi nyata di dunia tekstil dan produk turunannya, atau disingkat TPT (Tekstil dan Produk Tekstil). Saya lahir di pantura, yang terkena imbas dunia industri tekstil pada masa oil boom, di kota orang bekerja terserap di industri tekstil. Primatex, Saritex, Kesmatex, Bintangtex, Tex..tex yang lain masih begitu banyak.
Gempa industri textile pertama yang saya ingat masa reformasi, industri-industri tekstil jatuh, tetangga dan saudara saya yang bekerja di perusahaan textile diputus kerja. Sebagian merantau sebagian lagi tetap mukim. Terbesar waktu itu adalah group Texmaco, punya pengusaha India Marimutu Sinivasan. Dunia tekstile di Pekalongan kalau sedang produktif ditandai dengan keruhnya Kali Banger, sungai yang karena perusahaan-perusahaan kecil belum punya Instalasi Pembuangan Limbah maka bekas air pewarnaan dan pencucian tekstil dibuang ke sungai itu akhirnya sungai jadi keruh dan berbau, tapi itu menandakan ekonomi bergeliat. Dulu saya sekolah selalu bebarengan dengan senior-senior yang bersekolah di sebuah SMK kalau sekarang, dulu STM namanya Jutek, alias jurusan tekstil. Hanya ada di Pekalongan dan Bandung. Itu adalah STM Favorit, yang bersekolah disana dipastikan mereka yang otaknya encer. Tetapi siap menjadi kelas manager kalau bisa melanjutkan ke akademi tekstil di Bandung.
Semua tinggal cerita. Deindustrialisasi tekstil terjadi karena kita tak punya konsep bernegara. Industri tekstile dulu tumbuh karena dua orientasi, eksport dan kebutuhan domestik. Eksport untuk produk tekstil yang baik, halus dan adem. Sementara yang diproduksi untuk kebutuhan lokal yang dibawahnya, misal untuk seragam dan lainnya. Saya ingat kalau pulang dari Jogja naik bus lewat Bawen, Kaliwungu kalau pas sore, macet luar biasa karena bebarengan dengan buruh pabrik yang pulang kerja, ribuan orang. Tekstil adalah industri padat karya, Suharto waktu orde baru membuat industrialisasi pinggiran dimana rakyat yang tidak lagi punya tanah atau berkurang tanah, berubah menjadi kelas proletar menjadi buruh pabrik tekstil yang dibangun di pinggir antara kota dan desa. Bahkan dulu guru ngaji sayapun seorang pekerja tekstil yang cukup bonafid waktu itu, primatex. Karyawannya dijemput pulang pergi dengan bus karyawan. Sehingga dulu saya pun pernah berandai jadi buruh pabrik tekstil ketika melihat kondisi keluarga, yang saya kira tidak mampu lagi menyekolahkan ke perguruan tinggi. Saya bilang ke Simbok waktu itu, tapi malah simbok saya menangis .
Hari-hari ini pabrik-pabrik tekstil mengalami kemerosotan. Utamanya karena kita sebagai bangsa tak punya rencana. Bagaimana dengan 286 juta populasi kita hari ini? Industri padat karya adalah serapan terbanyak yang bisa dilakukan untuk supaya distribusi pendapatan bisa dilakukan sehingga orang bisa makan. Kita semakin mundur dalam soal padat karya ini, yang kemudian terjadi adalah meningkatnya populasi kerja sektor informal. Sektor ini adalah sektor yang tidak terlindungi secara hukum, bahasa sekarang adalah prekariat. Tidak ada kepastian pendapatan, jaminan sosial dan juga karier. Semua bergantung pada inisiatif pribadi. Ibarat ayam, anak sudah besar dia dilepas untuk mencari makan sendiri. Itulah negara kita, gagal dalam memenuhi amanah konstitusi “negara berkewajiban menciptakan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Lihat bagaimana cara mengatasi ambruknya raksasa tekstil, tidak kelihatan satupun teknokrasi yang bisa mencerminkan dia punya ideologi dan rencana menyeluruh tentang masa depan negara. Keluarlah Noel, Wakil Menteri Tenaga Kerja yang tidak pernah bekerja sebagai buruh. Aktivis ’98 yang pandai orasi dan kemudian jadi relawan politik tapi hanya pandai menjilat junjungannya. Tidak punya kompetensi urusan tenaga kerja dan hanya ngomong bombastis, “saya pertaruhkan jabatan saya, kalau PHK terjadi di Sritex!”, nyatanya Sritex akhirnya tutup dia juga nggak ngapa-ngapain, undur diri karena malupun tidak. Menjawab Sritex tutup Mensesneg, yang membuat kita heran, lulusan Fakultas Kehutanan, walaupun memang lulusan Taruna Nusantara, tetapi menurut saya masih inkompeten, selama sejarah Menteri sekertaris negara, hanya karena korsa Taruna dianggap bisa menyelesaikan masalah dan administrasi. Dia bersama Menteri Tenaga Kerja dan BUMN tiba-tiba mengundang kurator kepailitan Sritex dan menyatakan bahwa setelah 2 minggu karyawan Sritex akan dipekerjakan kembali. Entah bagaimana caranya, tapi si kurator bilang bahwa Sritex akan disewa, dan sudah ada yang mengajukan.
Problem kita itu problem tanpa rencana, kemudian semua diserahkan pada yang pernah bekerja dengan sistem komando, dalam militer terutama. Dianggap bahwa militer bisa apa saja. Ini pemikiran yang bahkan Suharto pun tidak seperti itu. Awal orde baru Suharto menyerahkan arah teknokrasi pada ahli administrasi dan ekonomi, itu Bapaknya Prabowo, Sumitro yang kemudian, mengumpulkan junior-juniornya, masuk dalam badan dan lembaga strategis. Tapi militer ditempatkan di wilayah basah yang urusannya hajat hidup, migas misalnya. Tetapi dia tunduk dalam teknokrasi sipil. Sampai akhirnya ahli-ahli perminyakan muncul dari ITB.
Sementara kekuatan buruh dan para kaum ideolog kiri, tidak kemudian serta merta menawarkan alternatif. Kenapa runtuhnya kapitalisme industri tekstile ini tidak dijawab dengan alternatif industri sosialisme?Padahal di kabinet banyak mantan aktivis kiri, yang kemudian jadi menteri. Industri padat karya kita hancur karena perjanjian perdagangan dimana kita harus membuka ruang lebar terhadap produk import sebagai bagian dari perjanjian diplomatik. Kita belumlah menjadi negara maju, dimana kebutuhan sudah bisa dipenuhi. Kunci negara maju itu kalau kebutuhan dasar sudah terpenuhi maka menjadi negara maju. Sementara kita, kebutuhan dasar pangan misalnya, malah bergantung pada importasi, juga pakaian atau tekstile. Maka semakin tidak jelas saja kita itu dalam bernegara. Harusnya sandang, pangan dan papan itu dipenuhi oleh kekuatan dalam negeri dulu, sampai kemudian dia bisa bersaing dengan produk import. Problemnya di kita semua produksi yang dasar apabila diproduksi di negeri selalu harganya tidak bisa bisa bersaing dengan produk importasi, itulah yang kemudian membuat kita terjerembab. Akhirnya dengan jumlah populasi penduduk yang besar kita hanya didesain menjadi negara konsumen, bukan lagi produsen. Inilah tanda kalau kita sudah tidak lagi berdaulat.
Kasus Sritex seharusnya membuat kaum buruh bisa bernegosiasi dengan negara, tidak usah melaui Noel, Mensesneg atau siapapun, mereka tidak pernah jadi buruh dan kalaupun baca soal perjuangan kelas hanya teori. Selama ini dalam kapitalisme industri tekstil, buruhlah yang menjalankan sistem produksi. Mereka memahami mesin bagaimana bekerja dan bagaimana kemudian mengefektifkan pekerjaan atau melipatgandakan produksi. Kenapa pabrik yang kolaps justru tidak diambil alih para buruh dengan serikat kerjanya minus bekas pemilik? Paksa negara untuk memproduksi kebutuhan sandang yang bisa dipenuhi dari produksi-produksi tekstil dalam negeri, misal seragam tentara, polisi, anak sekolah, pegawai dll diproduksi di dalam negeri sendiri tentu diperbandingkan dengan harga kompetitif produksi sejenis dari negara lain. Kita tahu bahwa seragam-seragam itu sekarang pun lebih banyak diimportkan, karena setiap import ada fee marketing yang akan diterima oleh penanggungjawab anggaran. Pikiran seperti itulah yang mematikan industri kita. Itulah yang namanya Kabir, kalau dulu PKI kasih nama Kapitalis Birokrat. Di kita yang berkembang sekarang adalah mentalitas-mentalitas Kabir itu. Subsidi di mark up, diimportkan kemudian menimbulkan keuntungan bagi segolongan kecil penguasa. Mentalitas seperti inilah yang seharusnya jadi musuh negara, karena akan memiskinkan dan menyengsarakan bangsa dan negara.
Kalau sosialisme masih ada di kita, harusnya ini saatnya untuk ambil peran. Setelah memaksa negara untuk berdaulat di negeri sendiri dengan meningkatkan konsumsi dari produksi sendiri, maka kemudian negara memfasilitasi supaya harga produksi bisa berkompetisi dengan produksi negara lain. Kita tidak harus menutup diri, tetapi secara cepat harus beradaptasi. Universitas sebagai gudangnya pengetahuan menemukan penciptaaan-penciptaan untuk memperbesar kerja kemanusiaan. Manusia diperatakan sehingga tidak hanya menumpuk di Jawa. Anehnya Jawa itu lebih miskin dibanding di luar Jawa. Seharusnya kalau income perkapita Jawa lebiih tinggi maka industri2 padat karya justru bisa dipindah ke luar Jawa. Tetapi justru kita asyik main dengan industri ekstraktif di luar Jawa, padahal kita tahu itu hanya sementara, kalau sudah habis maka akan menimbulkan kemiskinan baru, karena sumber pendapatan sudah habis. Kita itu memang seperti tumbuh tanpa rencana, cilakanya kemudian percaya bahwa semua bisa diatasi dengan disiplin dan kerjasama ala tentara. Entah kegagalan kesekian berapa lagi kita akan mencoba?